Selasa, 30 September 2014

Serial Remaja : tentang Kepo

Hari pertama
A : "pak, lagi apa?"
B : "assalamu'alaikum, pak gimana kabarnya?"
C : "hallo pak...lagi apa?"
Hari kedua
D : "pak, lagi apa? Aku disekolah sendiri nih"
B : "pak taufiq lagi apa?"
C : "pak, tadi saya lihat bapak dijalan. Lagi mau kemana hayoo"
Hari ketiga
A : "pak, lagi apa?kangen ndak sama anak-anak kelas ..."
E : "hayoo tadi pak taufiq ngapain di pasar?"
F : "pak, hari ini ke SMP ndak?"
Hari keempat
B : "pak taufiq, bapak punya adik ndak?"
G : "pak...pak...mbak sekar itu adiknya pak taufiq eaa..."
K : "pak taufiq...jangan pergi...kita kan kangen sama bapak"
Dan blaa...blaa...blaa... begitu banyak muridku yang perhatian sama gurunya. Kalo pake bahasa anak jaman sekarang, murid-muridku pada suka kepo sama gurunya. Senang? Nanti dulu...soal senang-tidaknya ga perlu dibahas disini. Yang perlu kita pahami adalah fenomena ke-kepo-an anak jaman sekarang dan pentingnya memahamkan akan privasi seseorang kepada mereka. Yach maklumlah...namanya juga remaja, anak-anak yang beranjak dewasa. Kita sebagai orang telah lebih dahulu dewasa perlu mengajarkan banyak adab dan akhlak pada mereka agar mereka tumbuh dengan adab dan akhlak yang baik.
Kepo, singkat kata menurutku kepo itu rasa ingin tahu yang berlebihan dari seseorang akan berbagai hal yang ia belum ketahui. Buat remaja hal itu wajar. Sebagai hasil dari perkembangan pemikiran yang pesat dan ditunjang oleh energi yang sangat besar, so it is not a problem. Awalnya demikian...
Namun, ada hal yang perlu dipahami bahwa setiap orang pasti punya privasi. Punya ruang dan waktu dimana wilayah itu bersifat pribadi dan tidak untuk diperbincangkan apalagi diumbar di wilayah publik. Dari sini kita perlu memahamkan anak tentang batasan-batasan kepo itu. Seperti hal yang saya alami belakangan ini. Begitu banyak anak-anak yang kepo sama gurunya. Pada anak-anak yang ngepoin aku, aku jelasin ke mereka gini,
"Setiap orang punya wilayah yg sifatnya privasi alias khusus buat dirinya.nah,kalo di-kepo-in terus2an bisa aj org tsb mrasa trganggu dn kadangkala marah.so,hormati wilayah privasi itu"
Bukan bermaksud marah atas sikap kepo anak-anak, hanya saja pembelajaran adab dan akhlak ini perlu diajarkan pada anak-anak lewat pergaulan, karena adab dan akhlak ini kurang mendapatkan porsi dalam pendidikan formal di sekolah negeri.

Senin, 22 September 2014

7E

“Anak-anak…” seruku meminta perhatian ketika kelas masih rame tak terkontrol. Aku jeda sembari melihat sekeliling kelas. Terbaca jelas semburat emosi di beberapa wajah. Hari ini adalah hari perpisahan. “mungkin ini cerita terakhir bapak…” lanjutku sembari memberatkan intonasi pertanda serius. Maka kelas pun hening. Tampak beberapa wajah mulai memerah, menahan bulir bening agar tak tumpah.
“Pak Taufiq jangan pergi…”
“ndak mau ganti walikelas…”
suara lirih itu muncul entah dari penjuru mana, saling besahutan. Akhirnya kelas kembali riuh. Namun aku tetap diam, tak ku gubris. Aku biarkan semua emosi itu mengalir, meluap dan tumpah menjadi bulir.
Beberapa sudah tak mampu menahan, matanya berkaca dipenuhi bulir bening yang hendak tumpah. Dan aku melanjutkan cerita. “pernah ada kisah seorang budak. Dia bekerja sangat keras, akhirnya ia berhasil menebus dirinya dan menjadi orang yang merdeka”. Kuperhatikan wajah para siswa satu per satu. Beberapa tertunduk, terisak dan meluncur beberapa bulir bening dari matanya.
“ketika orang-orang mengucapkan selamat, si mantan budak menjawab ‘aku tidak tahu, apakah ini berkah atau musibah’” ku jeda ceritaku.
Ku tatap lekat wajah-wajah polos mereka, menyimpannya dalam ingatan yang paling dalam. Kurasa memerah juga wajahku. Terasa bulir bening itu mulai mendesak, memenuhi kelopak mata namun ku paksa dengan semua daya. Aku tak ingin menunjukkan wajah sedih di hadapan mereka.
“anak-anak…” kataku dengan nada pelan, “adalah sunatulloh kehidupan bahwa semuanya dicipta berpasangan” ku hirup nafas dalam dan kulanjutkan “ada siang ada malam, ada sehat ada sakit, ada hidup ada mati, dan…” sengaja ku tahan sejenak, ngambang. “…dan pertemuan-perpisahan” kali ini terasa berat sekali menahan bulir bening ini agar tak keluar. Jelas terasa rona wajah ini memerah, menahan tangis.
Isak tangis memenuhi kelas. Bulir-bulir itu mengalir deras membasi wajah-wajah mereka.
“dan aku berpesan…” kataku sambil menyeka mata yang berkaca.
“jadilah siswa yang baik, belajarlah yang rajin, kemarin yang sudah pada rutin dhuha dilanjutkan lagi…” ku buang pandangku jauh ke atas agar bulirku tak tumpah ke wajah. Ku seka hidung yang mulai terisak. Tak mampu ku pandangi mereka. Hanya ku dengar isaknya menggemuruh memenuhi angkasa kelas.
Kupalingkan wajahku ke anak-anak kelas 8 yang sudah siap untuk memberi penugasan Persami. Ku beri kode agar mereka mengambil alih kelas. Saat semua anak kelas 7E beralih fokus, dalam diam aku pandangi beberapa wajah yang masih tak mampu tegak. Mereka larut dalam isak yang pecah. Mengalirkan bulir-bulir indah ke wajah dan ke tangan mereka. Aku hanya terdiam, mematung di tempatku dan…
Ku palingkan wajah serta badan dan berlari keluar. Menumpahkan semua bulir yang membuncah di dalam mata. Terisak dan pecah dalam tangis yang tak bersuara. Akhirnya ku tinggalkan mereka bersama sebuah doa.
“Yaa Rabbana….” Kataku terbata “rahmatilah mereka, berilah petunjuk mereka dan jadikan mereka generasi yang akan menjadi sebab turunnya rahmatMU bagi semesta Indonesia…Aamiin..."
Special for my beloved students in #7E

Minggu, 21 September 2014

Ini Kisahku tentang Kelas 7


Kelas 7, what do u think about that? Kelas dengan anak-anak yang rame, cempreng, alay ‘n para selfi-ers? Mulai dari yang pendiam sampai yang paling jago teriak, mulai dari yang feminim sampai yang tomboy, mulai dari yang tulen sampai –katanya– macho semua ada disini. 2 bulan hidup bareng mereka itu rasanya, hmmmm… nona-nona, eh nano-nano :D
Yach, mengampu mata pelajaran matematika yang terkenal menyeramkan memang harus punya cara PDKT tersendiri. Maka cerita dongeng, membaca karakter kepribadian sampai cerita seram tentang pocong-pun harus dipake untuk menarik perhatian mereka agar mau memperhatikan pelajaran ini. Al hasil jadilah membaca karakter kepribadian dengan cara membaca golongan darah menjadi cerita pertama buat “dipamerin” ke anak-anak :D

#1
“siapa yang golongan darahnya #B?” dengan cara menjawab khas anak-anak desa yang keras bin cempreng –maklum karena faktor biologis…usia segitu emang suaranya lagi cempreng2nya hehehe…– “aku pak…aku pak…” teriaknya sambil angkat tangan tinggi-tinggi.
“Si #B itu begini, begini…” sontak saja karakter yang lucu langsung mendapat respon dengan suara tawa yang khas –cempreng– dan sangat keras, kalo sekelas ketawa semua mungkin telinga gue bisa jebol kali yak…

#2
“anak-anak…kalian tahu, jika asal seseorang bisa diketahui dari caranya tertawa?” seruku saat tawa anak-anak mulai lepas kendali. “masak pak?” jawab mereka kompak. “begini…” jawabku sambil menata intonasi dan memasang mimik serius. “cara ketawa seseorang itu bisa dipakai buat mendeteksi asal seseorang. Jika ketawanya begini…” ku pasang wajah senyum dan tawa yang hanya terkekeh, “itu tandanya dia orang kota” ku lihat mereka masih pada diam, suara tawa perlahan menghilang. Mereka mulai mempraktekkan apa yang aku sampaikan. “nah, kalo ketawanya begini…” ku lanjutkan ceritaku sambil memberi contoh ketawa jenis kedua dengan isyarat tangan terbuka kaya’ mulut buaya yang lagi ngantuk, “itu tandanya anak desa”, “hahahahaaa…..” langsung dech kelas pecah gara-gara ketawa mereka yang meledak tiba-tiba sambil saling tunjuk satu sama lain “kamu…” “si A pak…” “si B pak…” teriak mereka membela diri. Tak sadar mereka ketawa dengan sangat keras dan terbahak tanpa henti. “nah kalo yang kaya gini dang a bisa nutup…” tanganku mempraktekkan lagi gaya buaya yang nguap karena ngantuk, “itu tandanya dia anak hutan…” “hahahaa….” Makin bahak dan tak berujung mereka ketawa. Bahkan ada beberapa yang tetap tertawa sampai pelajaran usai, yach kira-kira 20 menitlah dia ketawa tanpa bisa berhenti. “nah ini contoh anak hutan tulen” tutupku sebelum mengajak mereka berkemas karena waktu pulang telah tiba :D

#3
“pak, obat galau apa ya..” tetiba saja celoteh lirih itu menyasar padaku saat sesi cerita baru mau dimulai. Batinku “waduh, cilik-cilik wes galau,ckckck…” sekalian aku blow-up aja di kelas biar rame dan bisa jadi bahan buat ngasih pelajaran akhlak pada mereka. “hmm…galau…ada yang tau galau itu apa, siapa yang lagi galau?” tanyaku sambil menyapukan pandanganku ke penjuru kelas. Tampak air muka anak-anak mulai memerah, mungkin menahan malu. “anak-anak, ngapain to kalian suka banget galau?” sengaja ku berondong pertanyaan-pertanyaan retoris ke mereka agar mereka tak bisa menjawab, agar mereka merenung. “kalau kalian galau gara-gara cowok/cewek hmmm…malu-malauin” kataku sembari memberi penekanan khusus pada kata terakhir. Kulihat air muka mereka terlihat penasaran. Mungkin kalo diterjemahkan dalam bahasa verbal jadinya kurang lebih gini “kok bisa pak?” sengaja ku jeda penjelasan agar ada ruang buat mereka berfikir. “lha iyaa…yang cewek, kagak malu tuh kamu ditraktir sama cowokmu, padahal cowokmu masiih minta uang jajan ke orang tuanya…” sontak saja mereka ketawa lepas sambil menunjuk teman-teman mereka yang punya pacar. Ku biarkan sejenak biar yang anak-anak  putri yang sudah punya pacar menahan malu. Terlihat satu-dua orang yang makin merah air mukanya. “nah…yang anak-anak cowo, kagak malu apa kalian ntraktir cewek kalian pake uang orang tua kalian?” “hahaha…” tawa cempreng tetiba saja membaha, menggema seantero kelas. Seolah pembalasan karena telah diejek tadi. “dia pak…” “si A pak…” “tuuh dengerin…” teriak mereka sambil menunjukkan jari-jarinya kea rah temannya yang laki-laki. So, aku berpesan pada siswa-siswaku “yang masih punya pacar, udah…putusin aja.” Tampak rona merah karena malu telah punya pacar.

#4
Oh yaa…ada yang telewat dari cerita perkenalanku. Kejadian yang sudah lazim sekali adalah ketika diberi pertanyaan oleh guru dan siswa tidak bisa menjawab pasti ekspresinya kalo ndak menunduk yaa tersenyum gitu. Nah agar itu tidak terjadi selama pembelajaran matematika aku kasih nasehat dulu ke anak-anak. Begini…
“anak-anak, bahasa iitu ada dua. Verbal dan non-verbal” jelasku membuka nasehat. “apa itu pak?” terdengar suara tanpa rupa bertanya dari barisan belakang. “verbal itu bahasa yang bisa ditanggap, kaya gini, saya bicara dengan kalian ini adalah contoh bahasa verbal” ku kasih jeda biar mereka mikir dulu, mencerna kata-kataku yang mungkin terlalu baku dan mengandung kosakata yang baru mereka dengar. “selanjutnya non-verbal. Itu bahasa tubuh, mimik wajah. Senyum, cemberut DeeLeL itu contoh bahasa non-verbal” ku jeda lagi, tampak bebera wajah mengerut, mencoba mencerna apa yang aku sampaikan. “nah, jadi kalo saya pertanyaan saya menggunakan bahasa verbal, tolong dijawab dengan bahasa verbal yaa…jangan pake bahasa non-verbal. Saya tidak paham arti bahas non-verbal kalian” kataku sambil memasang senyum lebar dan menyapukan ke penjuru kelas. “artinya apa kalian bisa mengerjakan, apa kalian malu apa kalian…” “gila pak!” teriak anak laki-laki dari pojok belakang. Sontak saja itu membuat seantero kelas terbahak. Meledakkan tawa cempreng khas mereka di dalam kelas. Kubiarkan beberapa waktu agar reda dan aku ajak kembali fokus ke materi pelajaran

#5
Diantara sekian banyak anak yang aku ajar, ada segelintir yang suka dengan isu-isu aktual. Tentang pilpres, jokowi palestina dan bahkan ISIS. Pada saat karnaval, dia sempat request agar tema cerita besok adalah ISIS. “yaa…”jawabku saja sambil lalu karena masih ngurus minuman buat semua rombongan karnaval dari sekolahku. Ternyata ketika sesi cerita mau dimulai dia langsung teriak lantang “ISIS pak…ISIS…” dengan santai saja ku jawab “itu Cuma boneka”. Pengen ketawa ketika melihat raut wajah mereka yang ndomblong setelah mendengar jawabanku tadi. “kok bisa pak?” teriak mereka kompak. Yach ku jelaskan aja secara singkat agar mereka tahu mengapa. *sensored disini hehehe… *

#6
Salah satu tema yang aku angkat tanpa permintaan anak-anak adalah tentang Pelestina. Kisah tentang sekolah dan lingkungan anak-anak Palestina. Aku jelaskan ”betapa beruntungnya kalian disini, bisa sekolah, bermain dengan nyaman dan aman. Tapi kalian tahu cerita tentang anak-anak di Palestina sana?” tanyaku sembari memberi jeda. Kusapukan pandangan ke penjuru kelas, terlihat mereka terpancing untuk memperhatikan. “tempat main mereka adalah puing gedung dan senantiasa berbahaya, bukan karena puing yang bisa roboh setiap saat tapi…” terlihat mereka makin penasaran “tempat favorit mereka adalah masjid, buku favorit mereka adalah Al Qur’an dan cita-cita mereka adalah mati syahid…” kataku dengan air muka serius. “hahhh…”suara bernada tak percaya diikuti raut bengong langsung jelas nampak di wajah-wajah lugu mereka. “Ya! Mereka senantiasa menjaga sholat, bahkan di usia seperti kalian banyak dari anak-anak Palestina yang sudah hafal Al Qur’an” ku jeda agar fikiran mereka kembali dari alam imajinasi dan ketidakpercayaan. “tahukah kalian…mereka mewakili kita disana…menjaga masjid suci umat islam, Al Aqsha…” kataku terbata, mengeja intonasi agar makin terasa bermakna. “dan kemarin…ketika ada aksi menggalang dana di Semarang untuk membantu Palestina…terkumpul 105 juta” kataku masih dengan mengeja kata. “Alhamdulillah…” seru mereka. “bilang Alhamdulillah itu kalian membantu apa? Jangan-jangan malah membantu Israel yang menyerang Palestina” sindirku “haahhh!!!” raut bengong kembali mewarnai wajah mereka. Ku jeda sesaat dan ku tutup ceritaku dengan “ya, googling aja produk-produk Israel dan lihat dapur, kamar mandi dan rumah kalian”

#7
Sewaktu aku kuliah, sering kali aku dipeseni agar mengilmui semua yang aku amalkan dan mengamalkan semua yang aku ilmui” ini pun aku sampaikan ketika memberikan pesan moral ke anak-anak. Sholat dhuha. Ku sampaikan keutamaan-keutamaannya. Pernah suatu ketika ada anak yang bertanya “pak, kok bapak bisa pinter matematika sih? Apa rahasianya?” kujawab entang “perbanyak dan perlama sujud” lantas ku jelaskan hasil penelitian ilmuwan barat yang mengungkap rahasia sujud yang berhubungan dengan kecerdasan. Alhamdulillah mulai banyak anak-anak yang melakukan sholat dhuha.

Yach, masih terlalu banyak cerita tentang pengalaman mengajar, tak bisalah disampaikan dalam tulisan ini. Kalo dalam bahasaku begini “Waktu 2 bulan tak bisa disederhanakan dalam 3 halaman tulisan ini” yang jelas, terimakasih atas kesempatan langka ini.

Setelah ini, pelajaran matematika akan tetap menyenangkan bahkan lebih menyenangkan dengan guru yang baru. Beliaulah guru matematika yang sebenarnya. Yang lebih bisa mengajarkan penambahan dan pengurangan, perkalian dan pembagian serta pangkat dan akar, tidak seperti aku yang Cuma bisa mendongeng di kelas.

Belajarlah lebih keras, lebih cerdas karena masa depan kalian masih begitu panjang dan begitu berwarna. Aku hanya menjadi sekeping mozaik yang sangat kecil dalam puzzle kehidupan kalian…

#Quotes
“Sebaik-baik siswa putra adalah yang paling memuliakan temannya yang putri”
“Sebaik-baik siswi adalah yang paling tidak tergoda oleh rayuan temannya yang putra”
“Perbanyak dan pelama sujudmu agar engkau menjadi lebih cerdas”
“Pada dasarnya semua siswa itu cerdas, hanya saja mungkin guru belum bisa mengetahui dan mengembangkan kecerdasan siswa”

Rabu, 17 September 2014

Sepenggal Renungku, ODOJers

05:35 “Juz 8 kholas”
05:46 “Juz 12 kholas”
06:23 “Juz 30 kholas”
Begitulah saudara-saudaraku di komunitas One Day One Juz (ODOJ). Kesemangatan yang sungguh luar biasa untuk tilawah dan berbagi nasehat dan tadabur ayat kepada anggota yang lain disela-sela waktunya. Saat sore hari menjelang ditutupnya laporan tilawah beberapa ikhwah dengan semangat berujar “ada juz yang di lelang?” atau “jangan sampai juz antum ane ambil akhi” dan ada pula yang “ane ambil lelangan akhi fulan, juz sekian”
Waktu terus berjalan, sudah 9 bulan lebih kita bersama,  berbagi semangat dan nasehat tentang qur’an dan juga kehidupan. Sekali waktu diselingi candaan sebagai bumbu penyedap ukhuwah diantara kami. Walau selama kebersamaan ini tak pernah sekali pun kami bersua fisik, tapi kedekatan dan kehangatan selalu muncul dalam setiap perjumpaan di grup.
Ah…ada yang mengusik fikirku dalam beberapa waktu ini, bukan tentang luka dalam ukhuwah tapi tentang “rasa” dalam tilawah. Ya, rasa tentang kedekatan dengan Allah Sang Pemilik Qur’an. Di awal keikutsertaanku dalam komunitas ini, aku ingin mendapatkan “spirit booster” dalam tilawah. Agar tetap terjaga kedekatanku dengan Qur’an, dengan Allah. Dalam beberapa renungku, terusik fikirku oleh sebuah pertanyaan “adakah niatmu tilawah itu untuk Allah atau untuk saudaramu di grup ODOJ? Agar tak malu karena tidak kholas, agar bisa berbangga karena bisa mengambil jatah lelangan?”
Astaghfirulloh…seakan layu tubuh ini, tak mampu menjawab tanya itu. Tetiba saja teringat pada pesan Nabi yang mulia, “Amal besar bisa menjadi kecil karena niat, begitupun amal kecil bisa menjadi besar karena niat” Aku terdiam seribu bahasa. Mencoba mencerna kembali pertanyaan dan pesan Sang Baginda sambil mencari-cari letak niat itu dalam sanubari. “Ah…seakan tak bermakna tilawahku selama ini jika memang benar aku hanya mengejar target kholas dan mengambil lelangan” batinku.
“Semoga…semoga tidak hanya kholas dan lelangan yang kau kejar saudaraku” nasehat bijak yang entah dari mana datangnya. Tiba-tiba saja mengalir, membisik indah dan menggemuruh dalam dada, seakan-akan memaksaku untuk sejenak berhenti dan menemukan sebongkah niat dalam hati dan membersihkannya. Agar kembali bercahaya dan lurus niat dalam tilawah.

Senin, 15 September 2014

Siapa yang Kita Tuju?

Sungguh, jika bukan Allah yang kau tuju
Hanya kan kau temukan
Kekecewaan...karena penilaian orang
Kegelisahan...karena tak diperhatikan orang
Kemarahan...karena disepelekan orang
Ketakutan...karena kepergian orang
Astaghfirulloh...
Astaghfirulloh...
Astaghfirulloh...

Tapi, jika yang kau tuju hanya Allah semata
Kan kau temukan
Kedamaian...dalam setiap amal
Ketenangan...dalam setiap goncangan
Kelapangan jiwa...dalam setiap cobaan
Kesyukuran...dalam berbagai nikmat
Alhamdulillah...
Alhamdulillah...
Alhamdulillah...

Minggu, 14 September 2014

Langit Masih Setia, Sepanjang Masa

Disini langit masih setia
Menaungi kami yang beranjak dewasa
Menaungi langkah-langkah kecil kami
Yang berlarian
Menyusuri setapak jalan menuju lapang

Disini langit masih setia
Mencurahkan air menghidupi semesta
Menyuburkan sawah ladang, memutar perekonomian
Dan kami tetap berlari beranjak dewasa

Langit masih setia
Ketika kami belajar...yang katanya pengetahuan
Yang berkisah indah bak candu memabukkan
Yang mempesona bak gadis pingitan

Langit masih setia
Saat kami tersentak, ternyata semua telah berserak
Tak lagi kami temukan
Sawah ladang... berganti perumahan
Ngarai jernih... berganti sungai amis
Tanah lapang... berganti gedung menjulang

Oh Tuhan...
Selamatkan kami
Dari keganasan zaman...

Jumat, 12 September 2014

Galau *Spesial Edition For Teenagers*

Anak-anak, kalian sudah masuk pada tahap perkembangan yang disebut remaja. Tahap ini sering disebut tahap peralihan dari anak menjadi dewasa. Biasanya bla…bla…bla…

*formal banget yaa…ganti pake bahasa yang lebih gaul dikit aja dech*

#NgendorinSkrupOtak #NgencenginSkrupLeher *suara jadi cempreng*

OK guys, remaja,hmmm…apa itu? Kagak usah berat-berat mikirnya, ntar galau sendiri lho…Remaja itu kagak jauh-jauh ama yang mananya cinta (suit…suit…) coba-coba (bukan co**ca-co**la yaa…itu merk minuman,hehe…) dan hmm…apalagi yaa… (au ah, gelap…gue udah lewat masa itu,hehe…)

BeTeWe, tentang galau sebenernya kagak cuma khas remaja sih, gue…junior gue, senior gue bahkan sampe kakek-buyut-canggah semua bisa galau. Hmm…galau itu apa sih guys?

“galau itu perasaan yang ga enak banget” kata si A, kalo si B bilang “galau itu gaGAL move AUn” belum lagi menurut si C, D, E ampe Z juga punya pendapat yang beda2 guys. Capek ngetiknya kalo semua ditulis, hehehe…

Tapi gini ya guys, gue pernah nech diskusi sama seorang pujangga tak bernama (haha…). Nah, dia pinter bin ilmiah kalo ngomongin soal galau-nya anak muda nech, mau tahu, seriusan mau tahu?? (nech *lempar tahu sekeranjang* hehe…)
Gini yaa guys, bro, sist, mas, mbak dll… galau itu …. (udahlah…udah pada tahu kan…). Kita bahas jenis-jenis galau aja yach. Ini guys, cekidot!

Menurut sang pujangga (jeng…jengg…) galau itu dibagi menurut asal muasal dan objek yang di-galau-in. yang pertama, galau yang sifatnya ideologis. Ia berasal dari rasa gelisah karena miris, tidak bisa berbuat apa-apa melihat teman-temannya, masyarakatnya mengalami masalah yang kagak ada ujung pangkalnya. Hmm…contohnya kaya bapak proklamasi kita, yups…bapak Soekarno. Sebelum menjadikan nusantara ini merdeka dan bermana Indonesia, Soekarno muda sudah merasa galau duluan dan berkepanjangan. Ia sedih, miris melihat masyarakatnya miskin, tak berpendidikan, terjajah dan ter- ter- lain yang bikin #nyesek. Itu galau yang bagus guys, hasil dari galaunya beliau (red. Soekarno) adalah rasa nasionalisme dan keinginan yang kuat buat merdeka.

Nah, galau yang kedua. Hmmm…galau apa kira-kira? Galau realistis (apaan tuh?!) Galaunya kalian-kalian yang bingung soal pilihan hidup. Mau makan nasi rames apa pecel, mau ikut ekstra renang apa basket, mau ini atau itu dan bla…bla…blaa…sejuta keinginan tapi kagak bisa dilakuin semua alhasil, galau dech…hayoo ngaku… wajar-wajar aja kalo kalian galau soal itu ko, gak aneh. Karena emang hidup itu pilihan, jadi wajar kalo setiap saat muncul pilihan kya gitu. Hmm…khusus buat galau yang kaya gini, segera aja dech putusin mau pilih yang mana. Ambil keputusan dan…go, jangan galau melulu…kalo keseringen galau soal ginian kamu bakal gak dapet apa-apa. Ilmu kagak, prestasi apalagi…so come on…pilih aja…kalo pun salah tenang…dunia kagak bakal kiamat ko :D

Nah, selanjutnya bin terakhir nech…galau yang paling kagak ada gunanya. (Galau apaan om?) Galau yang pragmatis (duh, apa pula itu?? #BatakModeON) galau tentang pacar n cinta-cintaan (cinta monyetlah, cinta kucinglah, cinta inilah, itulah DeeLeL). Ko bisa?!! Sabar…sabar…gue jelasin dulu guys knapa galau jenis ini menurut sang pujangga itu percum(a) tak bergun(a). Die bilang gini “pacaran itu kagak ada gunanya. Isinya Cuma seneng-seneng doank, nah padahal hidup di dunia ini harus seimbang. Kagak Cuma seneng-seneng doank. Harus ada susahnya, harus ada nangisnya (hiks…) harus ada….gado-gadolah…so, pacaran itu adalah hal paling absurd di dunia. Lebih baik #PutusinAja. Hey yang anak cewek… kamu kagak malu apa, ditraktir cowokmu pake uang orang tuanya? Hey yang cowok, kagak malu apa, masih nodong orang tua aja udah sok ntraktir pacar? (duh, #JlebBanget)

Well guys, udah paham kan? sekarang waktunya kalian nentuin sikap. Mau galau yang mana? Yang ideologis, realistis apa masih setia ama galau yang pragmatis? Inget yaa…galau apapun itu, agar bisa keluar dari ke-GALAU-an itu, kalian kudu sibukin diri ama aktipitas-aktipitas yang positip. Kalo kalian sibuk, dijamin dech…kagak bakal galau…

#MbenerinSkrupOtak+Leher

Begitu yaa anak-anak...jangan sampai waktu muda kalian habis hanya untuk meng-galau.

Ditulis ulang dari hasil diskusi dengan teman seperjuangan

Jumat, 05 September 2014

Jika Suatu Saat Nanti Kau Jadi Seorang Ibu

~Jika suatu saat nanti kau jadi ibu..

Jadilah seperti Nuwair binti Malik yang berhasil menumbuhkan kepercayaan diri dan mengembangkan potensi anaknya .

Saat itu sang anak masih remaja . Usianya baru 13 tahun .
Ia datang membawa pedang yang panjangnya melebihi panjang tubuhnya, untuk ikut perang badar.

Rasulullah tidak mengabulkan keinginan remaja itu. Ia kembali kepada ibunya dengan hati sedih.

Namun sang ibu mampu meyakinkannya untuk bisa berbakti kepada Islam dan melayani Rasulullah dengan potensinya yang lain.

Tak lama kemudian ia diterima Rasulullah karena kecerdasannya, kepandaiannya menulis dan menghafal Qur’an.

Beberapa tahun berikutnya, ia terkenal sebagai sekretaris wahyu.

Karena ibu, namanya akrab di telinga kita hingga kini: Zaid bin Tsabit.

������

������~Jika suatu saat nanti kau jadi ibu...

jadilah seperti Shafiyyah binti Maimunah yang rela menggendong anaknya yang masih balita ke masjid untuk shalat Subuh berjamaah.

Keteladanan dan kesungguhan Shafiyyah mampu membentuk karakter anaknya untuk taat beribadah, gemar ke masjid dan mencintai ilmu.

Kelak, ia tumbuh menjadi ulama hadits dan imam Madzhab.
Ia tidak lain adalah Imam Ahmad .


������~Jika suatu saat nanti kau jadi ibu...

Jadilah ibu yang terus mendoakan anaknya .
Seperti Ummu Habibah .
Sejak anaknya kecil, ibu ini terus mendoakan anaknya .

Ketika sang anak berusia 14 tahun dan berpamitan untuk merantau mencari ilmu, ia berdoa di depan anaknya :

“Ya Allah Tuhan yang menguasai seluruh alam ! Anakku ini akan meninggalkan aku untuk berjalan jauh, menuju keridhaanMu .
Aku rela melepaskannya untuk menuntut ilmu peninggalan Rasul-Mu . Oleh karena itu aku bermohon kepada-Mu ya Allah, permudahlah urusannya .
Peliharalah keselamatannya,panjangkanlah umurnya agar aku dapat melihat sepulangnya nanti dengan dada yang penuh dengan ilmu yang berguna, aamiin !”.

Doa-doa itu tidak sia-sia. Muhammad bin Idris, nama anak itu, tu
mbuh menjadi ulama besar. Kita mungkin tak akrab dengan nama aslinya,
tapi kita pasti mengenal nama besarnya: Imam Syafi’i .

������������������

������~Jika suatu saat nanti kau jadi ibu..

Jadilah ibu yang menyemangati anaknya untuk menggapai cita-cita. Seperti ibunya Abdurrahman .

Sejak kecil ia menanamkan cita-cita ke dalam dada anaknya untuk menjadi imam masjidil haram, dan ia pula yang menyemangati anaknya untuk mencapai cita-cita itu .

“Wahai Abdurrahman, sungguh-sungguhlah menghafal Kitabullah, kamu adalah Imam Masjidil Haram…”, katanya memotivasi sang anak .

“Wahai Abdurrahman, sungguh-sungguhlah, kamu adalah imam masjidil haram…”, sang ibu tak bosan-bosannya mengingatkan .

Hingga akhirnya Abdurrahman benar-benar menjadi imam masjidil Haram dan ulama dunia yang disegani .

Kita pasti sering mendengar murattalnya diputar di Indonesia, karena setelah menjadi ulama, anak itu terkenal dengan nama Abdurrahman As-Sudais.

������

������~ Jika suatu saat nanti kau jadi ibu...

Jadilah orang yang pertama kali yakin bahwa anakmu pasti sukses .
Dan kau menanamkan keyakinan yang sama pada anakmu .
Seperti ibunya Zewail yang sejak anaknya kecil telah menuliskan “Kamar DR. Zewail” di pintu kamar anak itu .

Ia menanamkan kesadaran sekaligus kepercayaan diri .
Diikuti keterampilan mendidik dan membesarkan buah hati, jadilah Ahmad Zewail seorang doktor .
Bukan hanya doktor, bahkan doktor terkemuka di dunia .

Dialah doktor Muslim penerima Nobel bidang Kimia tahun 1999.

Senin, 01 September 2014

Sejenak Bernostalgia

Ah...masa itu ternyata telah lama berlalu. 10 tahun lebih tepatnya. Dulu kita bersatu dalam keluarga bernama 3A. Dalam satu wali kelas yang bernama (ibu) Sifrus Sa'adah. Dalam satu pemimpin kelas bernama Geniung Pratidina. Dalam satu seragam putih-biru. Dalam keluarga besar SMP 1 Weleri. Ya...satu dalam ukhuwah itu...dulu...

Masih lekat dalam benak, ketika saling olok orang tua, ketika saling contek pekerjaan rumah, saling berbagi jawaban ketika ulangan. Ya...saling berbagi dalam berbagai hal...

Masih jelas dalam canda, ketika ada yang jatuh cinta, ketika ada yang hanya mememdam rasa, ketika dimarahi guru karena kenakalan. Ya... ketika bersama, semua pasti tertawa...

Walau masa telah berubah. Tak lagi berseragam putih-biru, pun sudah bukan putih-abu-abu. Kita tetap bersama. Merajut ukhuwah dalam dalam canda. Tertawa lepas walau orang sebelah bilang norak. Kita tetap, "haa...haa...haa..."

Sahabat, semoga tetap begini adanya. Menjadi apapun, hijrah kemanapun kita tetap saudara, dalam ukhuwah bernama "TIGA A"