Senin, 17 Desember 2012

share dikit tentang pemira


Kawan, Aku ingin sekedar share tentang kondisi politik kampus kita berdasarkan analisis kecilku. Pemira tengah berlangsung. Tingkatan universitas telah selesai dan sebentar langi menyongsong pemungutan suara di tingkat fakultas dan jurusan.
Kisah klasik pada setiap pemira dari tahun ke tahun. Pertarungan antara kubu rohis dan nasionalis –atau apa sebutannya – selalu terjadi. Dan selalu saja –dalam sejarah hidupku di Unnes- kubu rohis mendominasi dalam perolehan jabatan ketua BEM di tingkat universitas dan beberapa fakultas. Sekilas itu memunculkan kesenangan dan kekecewaan. Kemenangan bagi kubu rohis dan kekecewaan bagi kubu nasionalis. It’s fine... itu hal yang wajar.
Aku tidak memungkiri, aku sendiri dibesarkan di “golongan” rohis namun bukan kesenangan yang aku rasakan. Justru kesedihan. Entah karena apa, yang jelas aku melihat ada yang “tidak sehat” dalam politik di kampus kita. Hmmm.... baiklah, sekedar share apa yang membuatku “ga enak hati”
Ada satu pendapat yang nyentil perasaanku ketika aku diskusi dengan seorang senior. Celoteh beliau kurang lebih begini “kubu birokrasi itu menginginkan anak-anak rohis yang menang dalam pemira sehingga kampus bisa kondusif dan mahasiswa bisa dikendalikan”. Batinku, “Ini GILA!! secara tidak langsung, ini pembunuhan sistemik terhadap berbagai elemen gerakan mahasiswa yang hidup dikampus. Ini yang membuat dinamika politik di kampus menjadi mati.” Dengan serta merta kusanggah pendapat itu. “Aku tidak bersepakat bang, kampus itu harus dinamis. Pertarungan itu sunatulloh adanya, Dan itu tidak boleh ditiadakan. Kampus tidak akan menjadi kaya gagasan politik dan kenegaraan jika pertarungan antar kubu ini mati”.
Diskusi dengan senior itu membuatku teringat “teori”ku tentang politik kampus setahun kemarin. Kurang lebih begini isinya. “dikampus itu ada tiga unsur yang harus sama kuat agar kondisi politik kampus bisa ‘hidup’ dan dinamis. Tiga unsur itu adalah rohis, nasionalis dan yang terakhir adalah birokrasi”.
Nah, kasuistik di Unnes, ternyata birokrasi membela rohis untuk suatu kepentingannya sendiri. Secara simpel rekayasanya begini. Birokrasi membuat mekanisme dimana jika diadakan pemira, kubu rohis yang akan menang. Selanjutnya birokrasi akan menggelondorkan dana yang besar untuk BEM sehingga BEM banyak program kerja dan tersibukkan dengan agenda Event Organizer. Otomatis, BEM tidak punya waktu yang cukup untuk menggali dan mengkaji tentang isu kampus sehingga “tidak ada pemberontakan” di dalam kampus. Dan jelas, ini menguntungkan birokrat dengan segala kepentingannya.