Senin, 21 April 2014

Beberapa Surat Kartini

“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama. [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902].

"Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Al Quran yang isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku," ujar Kartini. Kyai Sholeh tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela.

Kartini melanjutkan; "Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?"

“Menyandarkan diri kepada manusia, samalah halnya dengan mengikatkan diri kepada manusia. Jalan kepada Allah hanyalah satu. Siapa sesungguhnya yang mengabdi kepada Allah, tidak terikat kepada seorang manusia punm ia sebenar-benarnya bebas” (Surat kepada Ny. Ovink, Oktober 1900)

Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis; Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.

Lalu dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis; "Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah"

“Kesusahan kami hanya dapat kami keluhkan kepada Alloh, tidak ada yang dapat membantu kami dan hanya Dia-lah yang dapat menyembuhkan.” (surat Kartini kepada Nyonya Abandanon, 1 Agustus 1903)

Dalam surat-suratnya kemudian, Kartini banyak sekali mengulang-ulang kalimat “Dari Gelap Kepada Cahaya” ini. (Sayangnya, istilah “Dari Gelap Kepada Cahaya” yang dalam Bahasa Belanda adalah “Door Duisternis Tot Licht” menjadi kehilangan maknanya setelah diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan istilah “Habis Gelap Terbitlah Terang”).

Kartini menemukan dalam surat Al-Baqarah ayat 257 bahwa ALLAH-lah yang telah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya (Minazh-Zhulumaati ilan Nuur). Rupanya, Kartini terkesan dengan ayat ini. Karena Kartini merasakan sendiri proses perubahan dirinya, dari kegelisahan dan pemikiran tak-berketentuan kepada pemikiran hidayah.

Copied from ZeroSevener's WA Group

Minggu, 20 April 2014

Senyum yang Tertahan dalam Wajah Politik Kita

Suasana Sidang Pleno KPU Kota Semarang
Ada hal yang menarik ketika kita mencermati konstelasi politik yang ada, kita bisa melihat ada “perilaku aneh” dari beberapa parpol setelah hasil QC dipublikasikan. Melihat style komunikasi antar parpol bisa dilihat seperti “ada senyum yang tertahan”. Lihat saja, PDIP yang justru getol melakukan safari politik ke beberapa parpol. Dan juga PPP yang justru mengumbar “urusan rumah tangga” di media. Tak lupa PKS yang telah “menyalahi takdir”nya para pengamat. Ahh... panggung politik memang selalu membuat para penonton mengekspresikan “senyum tertahan”nya.
PDIP. Walaupun telah menang “mutlak” namun setidaknya ada dua simpul peristiwa yang mengundang “senyum tertahan”. Sempat diberitakan oleh satu koran bahwa telah terjadi pengusiran Jokowi oleh Puan Maharani dalam rapat evaluasi Pemilu. Yach menarik untuk dicari tahu lebih dalam. Mengapa “faktor X” ini justru ditendang pasca Pileg yang mebuat perolehan PDIP menjadi pemenang? Tentu ini memancing “senyum yang tertahan”. Yang kedua, mengapa pula sang Capres yang dielu-elukan sangat rajin blusukan ke Parpol lain yang justru secara perolehan suara jauh dibawahnya? Apakah sang “Effect Maker” telah merubah fokus dari blusukan di tingkat bawah menjadi blusukan elit? Hehehe... sekali lagi, ini mebuat “senyum tertahan”
Gerindra. Menjelang kampanye terbuka kemarin sepertinya Prabowo bermain drama dengan cukup cantik dengan mengambil peran sebagai “sang teraniaya”. Lihat saja bagaimana Megawati mencampakkan perjanjian yang telah dibuatnya dan luapan perasaan sang jendral tersampaikan dalam puisi “Asal Santun”nya. Dan psikologis rakyat Indonesia sangat menyukai peran ini, alhasil bisa kita lihat perolehan suara Gerindra yang melejit masuk dalam 3 besar.
PPP. Sungguh memunculkan “senyum tertahan” ketika tahu bahwa “urusan dapur” menjadi “urusan tamu”. Di tengah panen suara yang naik dengan cukup apik, justru dapur rumahnya umat islam Indonesia ini menjadi tontonan hanya gegara si tuan rumah bermain di rumah tetangga yang sedang punya hajat di GBK. Ahh... silahkan dilanjutkan dech ngurusi dapurnya. Aku tak pandai megang pisau dapur, bisa-bisa malah salah potong, #eh
PKB. Nah..ini partai yang keren. Setelah “promosi” pake nama Mahfudz MD dan Bang Haji Rhoma Irama yang mendulang suara cukup besar sehingga PKB menjadi Partai islam terbesar saat ini. Kini saatnya PKB bermanuver. Namun sayang seribu sayang...namanya politik itu tetap aja penuh intrik. Dan sekarang tuh..malah Ketumnya yang mau nyawapres. Keren kan? Hmmm...kagak salah sih... karena kemarin kan Bang Haji dan MMD mau di capresin, dan sekarang Ketumnya cukup legowo dengan cuma nyawapres. Ini yang bikin banyak orang menjadi ter”senyum tertahan”. Tapi aku akui lho..PKB sukses menggaet massa NU dengan slogannya “NU yaa PKB”
Hanura. Keren dah kalo ngomongin ini Partai. Kenapa? Optimis abis...belum apa-apa udah declair “Paket Lengkap” yang bersih, peduli, tegas. dan QC membuktikan..*teng...teng...* sudah 5 persen bro! Itu artinya dengan “senyum tertahan” Hanura akan melenggang ke Pilpres dengan koalisi. Naahh... apakah paketnya masih lengkap atau bakan ada bongkar pasang? Kita nantikan karena pasti ada “rasa yang tertahan” jika “Paket Lengkap”-nya harus dibongkar.
PKS. Ini partai yang durhaka! Gimana ga durhaka coba, dulu, duluuu banget para pengamat yang bermata jeli itu bilang bahwa PKS bakal tamat, eh...pas opening kampanye aja GBK penuh. Nggak lucu donk kalo pengamat yang salah. Dan sekarang tuh, malah dengan PDnya bilang bakal ngelampaui perolehan kursi di Senayan dibanding Pemilu 2009 kemarin.
Yach drama apapun di pentas politik kita, kita sebagai penonton cuma bisa meonton dengan “senyum yang tertahan” karena para politisi selalu menyimpan “rasa yang tak tersampaikan”.
Politik ga’ perlu panik
Karena Politik itu unik

Sabtu, 12 April 2014

Ketika Ikhwan Jatuh Cinta

"Rabbana...Hablana min azwajina..."
Desahnya terhenti. Doa itu tak mampu ia selesaikan. Tetiba saja desahnya hilang. Hening. Dan mutiara jernih itu mengalir indah. Disertai getar tubuhnya.

Ya! Bergetar hebat. Tubuh kekarnya mendadak rapuh dalam tangis yang tertahan.

Ia masih membisu dalam duduknya setelah salam di tengah malam. Serasa sudah tak punya tenaga, ia mengadu penuh iba. "Yaa Allah..." bisiknya di tengah isak. Seakan air bah, tak tertahan. Namun tetap tanpa suara.

"Segala puji bagiMu..." dalam isak yang makin tak tertahan. Deras. Sampai akhirnya pecah, tak tertahan.

Tersungkur. Ia roboh.

Malu.

"atas rasa ini, fitrah ini..." tak berani ia menengadah. Malu pada Ar Rahman. atas lalai diri, hati.

Terdiam. Namun jelas, ia terengah. Seakan lelah berlari. Dan akhirnya pecah dalam getar hebat dan tangis.

Terbang, mengembara dalam memori. Ia menyusuri setiap keping peristiwa. Sejak awal pertemuan, pertemanan, dalam masalah, konflik dan perdebatan. Tetiba saja sekebat hijab putih menyeruak jelas, menjejali memorinya. Terlihat jelas ia berkibar, namun sang pemilik tetap tak terlihat. Samar.

"Ampun Yaa Rabb..." tangisnya pecah, getarnya hebat. Sampai jangkrik pun tak kuasa menenangkannya. Sampai isaknya terdengar sayup di pekarangan.

Ia bersalah, berdosa atas rasa yang ada. "Sungguh...hamba belum mampu..." suaranya tersendat "...tak bisa menjaga fitrahMU...". Penuh, menyesaki memori. Bayang jilbabnya indah, mempesona dengan akhlak yang ia punya.

"Astaghfirulloh...astaghfirulloh..." berulangkali bibirnya mengucap istighfar. Memohon ampun atas keliaran memorinya, atas bayang yang tak pantas, tak halal bahkan hanya dalam angan. Tapi dalam hati ia mengakui, pesona akhlaknya membuat ia terpana.

Makin dalam, makin lama sambil otot-ototnya mengejang. Ia membenamkan muka dalam sujudnya. Merasa sungguh hina atas rasa yang tak pantas ada. "Sungguh rasa ini... terlalu suci untuk diri yang hina ini..."

"Yaa Rabb...rasa ini terlalu dini untuk diri semuda ini" Terdengar rintihnya berpadu dalam isak, sedu sedan.
Astaghfirulloh...
Astaghfirulloh...
Astaghfirulloh...
Astaghfirulloh...
Terus terdengar sampai ia benar-benar rubuh tak sadarkan diri...

Senin, 07 April 2014

Sepenggal Kisah Amirul Mukminin

Mainstreamming jiwa Ksatria: Keindahan Hukum di Zaman Umar

Izinkan menceritakan tentang sebuah kisah
keagungan dan keindahan hukum. Agar
tetap terjaga harap dan sangka baik untuk
negeri ini. Umar sedang duduk beralas
surban di bebayang pohon kurma dekat
Masjid Nabawi. Sahabat di sekelilingnya
bersyura' (rapat) membahas aneka soal. Tiga orang
pemuda datang menghadap, dua
bersaudara berwajah marah yang mengapit
pemuda lusuh yang tertunduk dalam
belengguan mereka.

"Tegakkan keadilan untuk kami, hai Amirul
Mukminin," ujar seorang. "Qishashlah
pembunuh ayah kami sebagai had atas
kejahatannya!"

Umar bangkit. "Bertakwalah kepada Allah,"
serunya pada semua. "Benarkah engkau
membunuh ayah mereka wahai anak
muda?" selidiknya.

Pemuda itu menunduk sesal. "Benar wahai
Amirul Mukminin!" jawabnya ksatria.
"Ceritakanlah pada kami kejadiannya!" tukas
Umar.

"Aku datang dari pedalaman yang jauh,
kaumku memercayakan berbagai urusan
muamalah untuk kuselesaikan di kota ini,"
ungkapnya. "Saat sampai," lanjutnya,
"kutambatkan untaku di satu tunggul kurma
lalu kutinggalkan ia. Begitu kembali, aku
terkejut dan terpana. Tampak olehku
seorang lelaki tua sedang menyembelih
untaku di lahan kebunnya yang tampak
rusak terinjak tanamannya. Sungguh aku
sangat marah dan dengan murka kucabut
pedang hingga terbunuhlah si bapak itu.
Dialah rupanya ayah kedua saudaraku ini."

"Wahai Amirul Mukminin," ujar seorang
penggugat, "kau telah mendengar
pengakuannya dan kami bisa hadirkan
banyal saksi untuk itu."

"Tegakkanlah had Allah atasnya!" timpal
yang lain. Umar galau dan bimbang setelah
mendengar lebih jauh kisah pemuda
terdakwa itu. "Sesungguhnya yang kalian
tuntut ini pemuda shalih lagi baik budinya,"
ujar Umar, "dia membunuh ayah kalian
karena lhilad kemarahan sesaat."

"Izinkan aku," ujar Umar, "meminta kalian
berdua untuk memaafkannya dan akulah
yang akan membayarkan diyat atas
kematian ayahmu."

"Maaf Amirul Mukminin," sergah kedua
pemuda dengan mata masih menyala
merah, sedih dan marah,"kami sangat
menyayangi ayah kami. Bahkan harta
sepenuh bumi dikumpulkan untuk kami, hati
kami hanya ridha jika jiwa dibalas dengan
jiwa!"

Umar yang tumbuh simpati pada terdakwa
yang dinilai amanah, jujur dan bertanggung
jawab tetap kehabisan akal yakinkan
penggugat.

"Wahai Amirul Mukminin," ujar pemuda
tergugat dengan anggun dan gagah,
"tegakan hukum Allah, aku ridha pada
ketentuan Allah," lanjutnya, "hanya saja
izinkan aku menunaikan semua amanah
dan kewajiban yang tertanggung ini."

"Urusan muamalah kaumku, berilah aku 3
hari untuk selesaikan semua. Aku berjanji
dengan nama Allah yang menetapkan
qishash dalam AlQuran, aku akan kembali 3
hari dari sekarang untuk menyerahkan
jiwaku."
"Mana bisa begitu!" teriak penggugat. "Nak,"
ujar Umar, "tak punyakah kau kerabat dan
kenalan yang bisa dilimpahi urusan ini?"

"Sayangnya tidak Amirul Mukminin.
Bagaimana pendapatmu jika kematianku
masih menanggung utang dan amanah
lain?"

"Baik," sahut Umar, "kau memberi tangguh 3
hari tapi harus ada seseorang yang
menjaminmu bahwa kau menepati janji
untuk kembali."

"Aku tidak memiliki seorang kerabat di sini.
Hanya Allah yang jadi penjaminku wahai
orang-orang yang beriman kepada-Nya,"
rajuknya.

"Harus ada orang yang menjaminnya!" ujar
penggugat, "andai pemuda ini ingkar janji,
siapa yang akan gantikan tempat untuk
diqishash?"

"Jadikan aku penjaminnya, hai Amirul
Mukminin!" sebuah suara berat dan
berwibawa menyeruak dari arah hadirin. Itu
Salman Al-Farisi.

"Salman?" hardik Umar, "demi Allah engkau
belum mengenalnya! Jangan main-main
dengan urusan ini! Cabut kesediaanmu!"

"Pengenalanku kepadanya, tak beda dengan
pengenalanmu ya Umar," ujar Salman, "aku
percaya kepadanya sebagaimana engkau
memercayainya."

Dengan berat hati, Umar melepas pemuda
itu dan menerima penjaminan yang
dilakukan oleh Salman baginya. Tiga hari
berlalu. Detik-detik menjelang eksekusi
begitu menegangkan. Pemuda itu belum
muncul. Umar gelisah mondar mandir.
Penggugat mendecak kecewa. Semua
hadirin sangat mengkhawatirkan Salman.
Sahabat perantau negeri, pengembara
iman itu mulia dan tercinta di hati Rasul dan
sahabatnya.
Mentari nyaris terbenam. Hadirin sangat mengkhawatirkan Salman.
Sahabat perantau negeri, pengembara
iman itu mulia dan tercinta di hati Rasul dan
sahabatnya.
Mentari nyaris terbenam. Salman dengan
tenang dan tawakal melangkah siap ke
tempat qishash. Isak pilu tertahan.Tetapi
sesosok bayang berlari terengah dalam
temaram,terseok&nyaris merangkak.
"Itu dia!"pekik Umar..

Pemuda itu dengan tubuh berkuah peluh
dan nafas putus-putus ambruk di pangkuan
Umar.."Maafkan aku," ujarnya,"hampir
terlambat..
Urusan kaumku memakan
banyak waktu..
Kupacu tungganganku tanpa
henti hingga sekarat dan terpaksa kutinggal
lalu aku berlari.."

"Demi Alloh,"ujar Umar sambil
menenangkan dan meminumi,"bukankah
engkau bisa lari dari hukuman ini?
Mengapa
susah payah kembali?"

"Supaya jangan sampai ada yang
mengatakan,"ujar terdakwa dalam senyum,"di kalangan Muslimin tak ada lagi ksatria
tepat janji.."

"Lalu kau,hai Salman," ujar Umar berkaca -kaca,"mengapa mau jadi penjamin
seseorang yang tak kaukenal sama sekali!"

"Agar jangan sampai dikatakan,"jawab
Salman teguh,"di kalangan Muslimin tak
ada lagi saling percaya&menanggung
beban saudara.."

"Allahu Akbar!"
pekik dua pemuda
penggugat sambil memeluk terdakwanya,"Alloh&kaum Muslimin jadi saksi bahwa
kami memaafkannya.."

"Kalian memaafkannya?"
Umar makin haru,"jadi dia tidak diqishash? Allahu Akbar!
Mengapa?"

"Agar jangan ada yang merasa,"sahut
keduanya masih terisak, "di kalangan kaum
Muslimin tak ada lagi kemaafan&kasih
sayang.."
#semoga kisah diatas bukan cuma catatan sejarah masa lalu, tapi akan terus berulang di setiap zaman. Aamiin.