Sabtu, 23 November 2013

Dialog Jiwa

Ia datang dengan muka muram dan pakaian yang kumal. "Kau terlihat begitu letih, mari sini duduk sejenak" sapaku padanya. Namun ia masih terpaku ditempatnya. Ku tatap wajahnya lekat. Ternyata memerah menahan tangis. Aku bangkit menghampirinya, sambil menyungging senyum aku merengkuh badannya yang layu dan mengajaknya duduk.
     "Kau sudah lama berkelana. Menyusuri ruang kehidupan, bertemu berbagai peristiwa dan masalah. Tentunya jiwamu letih. Mari sini, sekarang waktunya engkau beristirahat" sapaku membuka percakapan. Berharap ia merasa nyaman disini. Tapi ternyata ia bergeming. Ia tetap terdiam membisu. Tak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya. Padahal aku mengenalnya sebagai seseorang yang riang dan banyak bicara.
     Ku amati sejenak, lebih lekat. Menyusuri setiap jengkal wajahnya. Berharap bisa menemukan serat senyumnya, tapi sia-sia... tubuhnya menggigil, menahan tangis. Mukanya semakin memerah ketika air mata itu mulai pecah, bergulir menyusuri pipinya yang letih bertempur dengan kerasnya kehidupan.
     "Kawan..." kataku sambil merengkuh tubuh layunya. "Tak apa, tumpahkanlah semuanya, tumpahkan semua beban jiwa. Biarkan ia mengalir, semakin deras dan menjadi gelombang". Tubuhnya semakin bergetar, giginya menggigit bibir mungilnya. Pertanda ada beban besar yang masih ia tahan.
Semakin deras, air matanya mengalir. Menyusuri tiap jengkal pipi sebelum berakhir jatuh melalui dagunya. "tak apa, jangan kau tahan lagi...lepaskan beban itu, biarkan jiwamu merasa lapang" bisikku. "Kau berhak menangis, laki-laki pun punya hak"
     Ku seka air matanya lembut ketika semakin deras ia mengalir. "Bersabarlah kawan..." ia mulai bangkit, mencoba tegar atas keadaanya. "Semua terasa berat, buntu. Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Aku menyerah!" Sambil sesenggukan menahan tangis ia berkata. Aku pun memeluknya lagi, memberikan bahu untuk tempanya bersandar. Dan ia tetap menangis. "Kawan..." bisikku lirih di telinganya, "berhentilah sejenak, lepas semua beban dan isilah kembali energi jiwamu. Biarkan energi positif hadir, mengalir membasahi kekeringan dalam jiwamu, bersabarlah..." bujukku menenangkan.
     "Tapi...tapi semua sudah terlambat, semua sudah tak berarti" kilahnya sambil meratap dalam tangisnya. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. "Sudahlah kawan...istirahatlah sejenak disini. Aku yakin engkau akan baikan besok..." kataku sambil merebahkannya. Ku selimuti tubuhnya yang layu. "Tidurlah, insyaAlloh engkau akan tenang..."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar