Rabu, 27 November 2013

Mimpi Itu...

     "Ah...kau sudah bangun rupanya, sana cuci mukamu dulu biar sirna ikatan syaitan yang membelenggumu" kataku saat mendapatinya berdiri melekat di ujung dinding dapur. Ku lanjutkan mengaduk teh dan kudapan kecil untuk kami nikmati bersama.
     Ku lihat ia keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar. "Sini...sini...pagi terlalu indah untuk di lewatkan di dalam rumah" ajakku ke teras belakang. "Minumlah, sudah ku buatkan teh hangat untukmu". "Terimakasih..." sahutnya lirih. Mungkin dia masih merasa berat dengan beban-bebannya yang kemarin, maklum dia kemarin datang ke tempat ini dengan tampilan yang begitu lusuh dan badan yang menggigil. Menahan tangis.
     "Sudah baikan kawan?" Sapaku membuka perbincangan. Dia hanya menjawab dengan anggukan kecil kepala. Melihat dia yang masih terbebani dengan masalah-masalah yang ia hadapi kemarin, aku coba memberikan kehangatan memalui senyum sederhanaku. "Ini, minumlah...agar kau merasa hangat" kataku sambil menyodorkan segelas teh hangat. "Kau masih ingat kapan terakhir kita ngobrol seperti ini?" Tanyaku sambil menyeruput teh yang masih panas. Ternyata masih tak ada suara dari hanya. Hanya gelengan kecil kepala pertanda ia sudah lupa. Aku pun tersenyum. "Ya sudah, minumlah teh ini sebelum dingin".
     "Aku masih ingat, terakhir kita berbincang disini..." kataku sembari menghela nafas panjang. "Kau begitu bersemangat dan lincah bertutur tentang mimpimu untuk mengunjungi berbagai tempat, melihat kearifan lokal dan mencari kebijaksanaan" kataku sembari menyeruput teh panasku lagi. "Dan aku selalu mendukungmu dalam karya... Lantas kau bangkit dan menyiapkan semua bekal untuk perjalanan panjangmu" kataku mengenang masa itu.
     Ku lihat ia mulai meminum teh sambil mengangkat kakinya, merapatkan kaki ke dadanya, kedinginan. Tampak jelas dari gesturnya. "Saat kau berpamitan..." sambungku "kau berjanji akan menjadi lebih dewasa, lebih mandiri dan tenang dalam menghadapi masalah" kataku sembari menatap ke langit. "Kau menjadi lebih dewasa, lebih tenang. Itulah kesan yang ku tangkap saat kita saling bercerita dalam komunikasi jarak jauh kita. Kau terkesan menjadi pribadi yang lembut dan ringan tangan dalam membantu teman-teman baru yang kau temui sepanjang perjalananmu" kataku sambil mengenang tingkah polahnya sebelum waktu perpisahan itu. "Saudaraku dan kemarin kau kembali kesini dengan wajah yang lesu dan nyaris tanpa semangat. Aku jadi teringat penggalan pendek surat cintaNYA, 'ala bidzikrillah tathmainul qulub...kau sudah hafal kan artinya?" Kataku sembari tersenyum. Dengan lirih yang nyaris tak terdengar ia menjawab "hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang...". Ku tatap wajahnya lekat, mencari tahu apakah ia hanya menghafal dengan kepalanya atau dengan hatinya, lantas ku sahut "engkau benar saudaraku, ku kira engkau sedang diajari Allah tentang makna ayat itu". Ternyata beberapa butir kristal cair meleleh dari matanya. Tubuhnya bergetar. "Kau tak mengerti! Jiwa ini terasa sepi, sendiri. Tak ada yang peduli! Jiwa ini merindu, namun tak ada yang mengerti. Dan aku pergi, mencari pelampiasan diri!" Katanya dengan nada tinggi. Namun justru butiran itu semakin deras mengalir dari kelopak matanya.
     Ku hampiri dirinya, ku peluk sambil berkata "kawan...ini surat cintaNYA yg sebenarnya. Ketika engkau berjanji ingin menjadi lebih mandiri, dewasa dan lebih tenang maka Allah mengajarimu langsung. Memberimu sepenggal kisah untuk kau pelajari, kau ambil ibrohnya. Dan petualanganmu itu adalah wahana pembelajaran yang telah Allah siapkan untukmu, sekarang waktunya kau duduk, merenungkan hal apa saja yang telah kau pelajari kemarin. Bukalah kembali kisah-kisah yang kau ceritakan padaku dulu, aku yakin kau sudah menemukan berbagai hikmah berharga. Dan sekarang Allah hendak mengokohkan ilmuNYA padamu" kataku lembut sembari mengusap bahunya. Tubuhnya yang tadi bergetar menahan tangis kini telah tenang kembali. "Percayalah, kau bisa mengatasi semua ini..." dan ia menjawabnya dengan anggukan kecil. "Renungkalah kawan...sungguh pagi ini akan menjadi waktu berhargamu untuk merenung..."
     Ku lihat ia sudah mulai tenang, maka ku lepas pelukanku dan ku tinggalkan ia sendiri di teras belakang. Memberinya waktu untuk mengambil pelajaran dari kehidupan...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar