Senin, 22 September 2014

7E

“Anak-anak…” seruku meminta perhatian ketika kelas masih rame tak terkontrol. Aku jeda sembari melihat sekeliling kelas. Terbaca jelas semburat emosi di beberapa wajah. Hari ini adalah hari perpisahan. “mungkin ini cerita terakhir bapak…” lanjutku sembari memberatkan intonasi pertanda serius. Maka kelas pun hening. Tampak beberapa wajah mulai memerah, menahan bulir bening agar tak tumpah.
“Pak Taufiq jangan pergi…”
“ndak mau ganti walikelas…”
suara lirih itu muncul entah dari penjuru mana, saling besahutan. Akhirnya kelas kembali riuh. Namun aku tetap diam, tak ku gubris. Aku biarkan semua emosi itu mengalir, meluap dan tumpah menjadi bulir.
Beberapa sudah tak mampu menahan, matanya berkaca dipenuhi bulir bening yang hendak tumpah. Dan aku melanjutkan cerita. “pernah ada kisah seorang budak. Dia bekerja sangat keras, akhirnya ia berhasil menebus dirinya dan menjadi orang yang merdeka”. Kuperhatikan wajah para siswa satu per satu. Beberapa tertunduk, terisak dan meluncur beberapa bulir bening dari matanya.
“ketika orang-orang mengucapkan selamat, si mantan budak menjawab ‘aku tidak tahu, apakah ini berkah atau musibah’” ku jeda ceritaku.
Ku tatap lekat wajah-wajah polos mereka, menyimpannya dalam ingatan yang paling dalam. Kurasa memerah juga wajahku. Terasa bulir bening itu mulai mendesak, memenuhi kelopak mata namun ku paksa dengan semua daya. Aku tak ingin menunjukkan wajah sedih di hadapan mereka.
“anak-anak…” kataku dengan nada pelan, “adalah sunatulloh kehidupan bahwa semuanya dicipta berpasangan” ku hirup nafas dalam dan kulanjutkan “ada siang ada malam, ada sehat ada sakit, ada hidup ada mati, dan…” sengaja ku tahan sejenak, ngambang. “…dan pertemuan-perpisahan” kali ini terasa berat sekali menahan bulir bening ini agar tak keluar. Jelas terasa rona wajah ini memerah, menahan tangis.
Isak tangis memenuhi kelas. Bulir-bulir itu mengalir deras membasi wajah-wajah mereka.
“dan aku berpesan…” kataku sambil menyeka mata yang berkaca.
“jadilah siswa yang baik, belajarlah yang rajin, kemarin yang sudah pada rutin dhuha dilanjutkan lagi…” ku buang pandangku jauh ke atas agar bulirku tak tumpah ke wajah. Ku seka hidung yang mulai terisak. Tak mampu ku pandangi mereka. Hanya ku dengar isaknya menggemuruh memenuhi angkasa kelas.
Kupalingkan wajahku ke anak-anak kelas 8 yang sudah siap untuk memberi penugasan Persami. Ku beri kode agar mereka mengambil alih kelas. Saat semua anak kelas 7E beralih fokus, dalam diam aku pandangi beberapa wajah yang masih tak mampu tegak. Mereka larut dalam isak yang pecah. Mengalirkan bulir-bulir indah ke wajah dan ke tangan mereka. Aku hanya terdiam, mematung di tempatku dan…
Ku palingkan wajah serta badan dan berlari keluar. Menumpahkan semua bulir yang membuncah di dalam mata. Terisak dan pecah dalam tangis yang tak bersuara. Akhirnya ku tinggalkan mereka bersama sebuah doa.
“Yaa Rabbana….” Kataku terbata “rahmatilah mereka, berilah petunjuk mereka dan jadikan mereka generasi yang akan menjadi sebab turunnya rahmatMU bagi semesta Indonesia…Aamiin..."
Special for my beloved students in #7E

Tidak ada komentar:

Posting Komentar