Rabu, 19 Februari 2014

Sedikit tentang Kepemimpinan




Selalu ada bahan diskusi yang menarik tentang pemimpin dan kepemimpinan. Tema-tema itu yang sering menjadi bahan diskusi di berbagai forum gagasan di kampus. Semoga coretan sederhana ini bisa mewakili gagasanku.

Sedikit ulasan saya disini hendak menjawab beberapa permasalahan yang disampaikan oleh salah seorang peserta diskusi, kurang lebih begini permasalahan yang belliau sampaikan “Bagaimana komunikasi seorang pemimpin dalam hal perumusan dan pengkomunikasian kebijakan?”

Dalam kepemimpinan ada dua cara dalam merumuskan suatu kebijakan. Yang pertama adalah top-down. Cara perumusan kebijakan ini lebih berfokus pada diskusi dan adu argumen antar pemimpin atau orang-orang yang berada pada ring-1 seorang pemimpin. Gaya ini relatif lebih cepat dalam perumusan kebijakan karena proses diskusi-adu argumen hanya terjadi pada forum yang terbatas. Gaya ini pun lebih mengandalkan konsepsi pemikiran daripada fenomena yang menggejala di masyarakat. Namun demikian kita bisa melihat bahwa pelibatan rakyat menjadi sangat terbatas dalam prosesi perumusan kebijakan ini. Hal ini yang perlu diwaspadai oleh para pemimpin dengan style ini karena bukan tidak mungkin hal ini bisa memantik kemarahan massa karena merasa dianaktirikan dan dianggap boneka. Yang kedua adalah buttom-up, bagi sebagian orang gaya ini disebut gaya yang “lebih manusiawi” karena terjadi pelibatan yang besar dari masyarakat untuk “menentukan arah”nya. Gaya ini mengandalkan “what public want” sehingga yang seringkali digunakan adalah survey untuk membaca kehendak publik. Tapi kita juga harus menyadari bahwa cara demikian membutuhkan waktu dan biaya yang sangat besar. Padahal seringkali kita tidak diberikan banyak waktu untuk merumuskan kebijkan. Disisi lain cara ini seringkali membuat perkembangan publik –dalam konteks keilmuan dan kedewasaan- terhambat karena publik “hanya” melihat realita, bukan visi. But over all, kita membutuhkan dua cara pandang tersebut. Baik top-down maupun buttom-up karena masing-masing memiliki kelebihan.

Selanjutnya pertanyaan “Bagaimana kesigapan pemimpin jika ada rakyatnya yang mengalami masalah? Kejadiannya sering kali baru ada respon ketika masalahnya sudah akut”. Satu jawaban singkatku tentang pertanyaan tersebut, “Ini masalah kultural dan hanya bisa diselesaikan dengan konsepsi baru dalam kepemimpinan”

Respon. Seringkali masyarakat melihat respon yang begitu lambat dari para pemimpin dalam mengatasi masalah. Kita perlu jeli melihat masalah ini, bisa jadi hal ini dikarenakan kendala birokrasi yang ribet atau memang pemimpin yang kurang memiliki sensitivitas terhadap masalah sehingga abai pada hal-hal yang terlihat sepele. Jika memang kendalanya ada pada alur birokrasi yang “njlimet” maka reformasi birokrasi adalah gagasan yang urgent untuk dilakukan. Reformasi ini tidak hanya mengganti para birokrat namun lebih pada penggantian “isi kepala” dari para birokrat yang ada. Nah jika memang pemimpin yang kurang memiliki sensitivitas terhadap masalah maka kita sebagai rakyat memiliki kewajiban untuk mengingatkan. Satu hal yang jelas-jelas harus kita pahami adalah bahwa kudeta dilarang keras dilakkukan untuk mengganti pemimpin yang kurang sensitif pada berbagai persoalan.

Semoga bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar