Selalu ada bahan diskusi yang menarik tentang pemimpin dan kepemimpinan. Tema-tema itu yang sering menjadi bahan diskusi di berbagai forum gagasan di kampus. Semoga coretan sederhana ini bisa mewakili gagasanku.
Sedikit ulasan
saya disini hendak menjawab beberapa permasalahan yang disampaikan oleh salah
seorang peserta diskusi, kurang lebih begini permasalahan yang belliau
sampaikan “Bagaimana komunikasi seorang pemimpin dalam hal perumusan dan
pengkomunikasian kebijakan?”
Dalam
kepemimpinan ada dua cara dalam merumuskan suatu kebijakan. Yang pertama adalah
top-down. Cara perumusan kebijakan ini
lebih berfokus pada diskusi dan adu argumen antar pemimpin atau orang-orang
yang berada pada ring-1 seorang pemimpin. Gaya ini relatif lebih cepat dalam
perumusan kebijakan karena proses diskusi-adu argumen hanya terjadi pada forum
yang terbatas. Gaya ini pun lebih mengandalkan konsepsi pemikiran daripada fenomena
yang menggejala di masyarakat. Namun demikian kita bisa melihat bahwa pelibatan
rakyat menjadi sangat terbatas dalam prosesi perumusan kebijakan ini. Hal ini
yang perlu diwaspadai oleh para pemimpin dengan style ini karena bukan tidak
mungkin hal ini bisa memantik kemarahan massa karena merasa dianaktirikan dan
dianggap boneka. Yang kedua adalah buttom-up,
bagi sebagian orang gaya ini disebut gaya yang “lebih manusiawi” karena terjadi
pelibatan yang besar dari masyarakat untuk “menentukan arah”nya. Gaya ini
mengandalkan “what public want” sehingga yang seringkali digunakan adalah
survey untuk membaca kehendak publik. Tapi kita juga harus menyadari bahwa cara
demikian membutuhkan waktu dan biaya yang sangat besar. Padahal seringkali kita
tidak diberikan banyak waktu untuk merumuskan kebijkan. Disisi lain cara ini
seringkali membuat perkembangan publik –dalam konteks keilmuan dan kedewasaan-
terhambat karena publik “hanya” melihat realita, bukan visi. But over all, kita membutuhkan dua cara
pandang tersebut. Baik top-down
maupun buttom-up karena masing-masing
memiliki kelebihan.
Selanjutnya
pertanyaan “Bagaimana kesigapan pemimpin jika ada rakyatnya yang mengalami masalah?
Kejadiannya sering kali baru ada respon ketika masalahnya sudah akut”. Satu
jawaban singkatku tentang pertanyaan tersebut, “Ini masalah kultural dan hanya
bisa diselesaikan dengan konsepsi baru dalam kepemimpinan”
Respon.
Seringkali masyarakat melihat respon yang begitu lambat dari para pemimpin
dalam mengatasi masalah. Kita perlu jeli melihat masalah ini, bisa jadi hal ini
dikarenakan kendala birokrasi yang ribet atau memang pemimpin yang kurang
memiliki sensitivitas terhadap masalah sehingga abai pada hal-hal yang terlihat
sepele. Jika memang kendalanya ada pada alur birokrasi yang “njlimet” maka
reformasi birokrasi adalah gagasan yang urgent untuk dilakukan. Reformasi ini
tidak hanya mengganti para birokrat namun lebih pada penggantian “isi kepala”
dari para birokrat yang ada. Nah jika memang pemimpin yang kurang memiliki sensitivitas
terhadap masalah maka kita sebagai rakyat memiliki kewajiban untuk
mengingatkan. Satu hal yang jelas-jelas harus kita pahami adalah bahwa kudeta
dilarang keras dilakkukan untuk mengganti pemimpin yang kurang sensitif pada
berbagai persoalan.
Semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar